Buku: Dialog yang Mengasah Jiwa
Di tengah derasnya arus gambar yang bergerak dan suara yang silih berganti, kita perlahan lupa bahwa berpikir bukan hanya soal menerima. Video pendek dan layar yang menyala hanyalah pantulan, bukan percakapan. Padahal, ketajaman nalar tak pernah lahir dari sekadar menyimak, melainkan dari keberanian jiwa untuk berdialog dengan sunyi, dengan halaman demi halaman yang mengajak kita menafsirkan, menantang, dan meragukan kembali apa yang semula diyakini.
Membaca
adalah ziarah batin—ia tak menawarkan kepuasan sekejap, tapi mengajak meniti
pelan jalan makna. Saat mata menyusuri huruf dan pikiran menyusuri ide, otak
dipaksa untuk tidak sekadar hadir, tetapi terlibat. Buku tak menggoda dengan
warna-warni atau sensasi, tapi ia memeluk dengan kedalaman dan mengguncang
dengan perenungan. Di dalamnya, kita belajar menunda kesimpulan, memberi ruang
pada renungan, dan menjahit pemahaman dari serpihan kata.
Tanpa
kebiasaan membaca, otak menjadi seperti pedang yang kehilangan asah; tak lagi
tajam, hanya mengkilap di permukaan. Ia tak mampu menembus makna, apalagi
mengukir hikmah. Maka dalam zaman yang gemar berlari, membaca adalah tindakan
radikal: sebuah upaya untuk diam, menyimak, dan menemukan kembali suara hati
yang nyaris tenggelam di tengah kebisingan dunia. Karena hanya dengan membaca,
kita sungguh berdialog—bukan dengan orang lain, tapi dengan pikiran kita
sendiri.

(1)-100x100.jpg)


