Buku: Dialog yang Mengasah Jiwa

Buku: Dialog yang Mengasah Jiwa

Di tengah derasnya arus gambar yang bergerak dan suara yang silih berganti, kita perlahan lupa bahwa berpikir bukan hanya soal menerima. Video pendek dan layar yang menyala hanyalah pantulan, bukan percakapan. Padahal, ketajaman nalar tak pernah lahir dari sekadar menyimak, melainkan dari keberanian jiwa untuk berdialog dengan sunyi, dengan halaman demi halaman yang mengajak kita menafsirkan, menantang, dan meragukan kembali apa yang semula diyakini.

Membaca adalah ziarah batin—ia tak menawarkan kepuasan sekejap, tapi mengajak meniti pelan jalan makna. Saat mata menyusuri huruf dan pikiran menyusuri ide, otak dipaksa untuk tidak sekadar hadir, tetapi terlibat. Buku tak menggoda dengan warna-warni atau sensasi, tapi ia memeluk dengan kedalaman dan mengguncang dengan perenungan. Di dalamnya, kita belajar menunda kesimpulan, memberi ruang pada renungan, dan menjahit pemahaman dari serpihan kata.

Tanpa kebiasaan membaca, otak menjadi seperti pedang yang kehilangan asah; tak lagi tajam, hanya mengkilap di permukaan. Ia tak mampu menembus makna, apalagi mengukir hikmah. Maka dalam zaman yang gemar berlari, membaca adalah tindakan radikal: sebuah upaya untuk diam, menyimak, dan menemukan kembali suara hati yang nyaris tenggelam di tengah kebisingan dunia. Karena hanya dengan membaca, kita sungguh berdialog—bukan dengan orang lain, tapi dengan pikiran kita sendiri.